Pages

Kamis, 09 Juni 2011

renaisans islam

Renaisans Islam

02-June-2006
Buletin No. 130
Oleh: Prof. Dr. Emil Salim
“…Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derjat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadilah [58]: 11).
Islam adalah agama yang sempurna dan tinggi. Hal ini tersurat dalam ungkapan al- islmamu ya’lu wala yu’la alaih (Islam adalah agama yang tinggi dan tidak ada yang menyamainya). Namun, mengaca diri pada realitas umat Islam saat ini, di pelbagai penjuru dunia tidak menunjukkan ketinggian dan kemuliaan para pemeluknya. Mayoritas komunitas muslim masih terpenjara oleh fenomena kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan berbagai konflik antar sesama. Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan kondisi umat Islam pada tujuh abad yang lalu. Pada saat itu umat Islam mampu menampilkan diri sebagai pemimpin dunia, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Islam pada era keemasan itu, tentu tetap menjadi inspirasi dan motivasi bagi kemajuan para penganutnya saat ini. Bahkan nama-nama intelektual Muslim masa lalu tersebut masih harum terdengar, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Khawarizmi, Ibnu Khandun dan lain sebagainya. Jika umat Islam terdahulu bisa mencapai kemajuan spektakuler yang berangkat dari Alquran dan Hadits, kenapa umat Islam saat ini masih saja tertinggal jauh? Tentu ada yang salah dengan umat Islam saat ini. Dan, upaya apa yang harus dilakukan oleh umat Islam agar dapat mendorong terjadinya renaisans Islam.
Konsep Renainans Islam di sini berbeda dengan konsep renaisans yang terjadi di Barat tempo dulu. Renaisans Barat yang terjadi di Perancis pada abad ke-14 adalah gugatan atas supremasi gereja Katolik Roma dan tumbuhnya paham individualisme. Renaisans Barat dibaca dalam konteks matinya feodalisme, bangkitnya individualisme dan penentangan terhadap supremasi gereja Katolik Roma. Sementara renaisans dalam konteks Islam, bukanlah penentangan kesatuan agama dan negara, tapi bagaimana merevitalisasi umat Islam agar mereka bangkit dan bisa maju seperti halnya kejayaan atau kemajuan yang dicapai umat Islam masa lampau.
Ada dua alur pemikiran yang mengantarkan umat Islam ke posisi puncak, yaitu pendalaman ilmu syariat dan ilmu falsafah dan alam. Pendalaman ilmu syariat (tafsir, hadits, fikih, dan ilmu kalam), melahirkan empat mazhab terkenal, yaitu Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Penekanan dalam bidang ini adalah bagaimana tata tertib, hukum, dan fikih Islam. Pada saat bersamaan, selain mendalami ilmu syariat, umat Islam juga mendalami ilmu lain yang dikenal dengan hikmah atau filsafat yang menekankan pada ilmu alam. Inilah yang mengantarkan umat Islam masa lalu mempunyai prestasi gemilang dalam ilmu kimia dan kedokteran. Kemajuan dalam bidang ini lahir dari pembacaan yang disertai penelaahan atas ayat-ayat Alquran. Selain itu, turut memainkan peranan penting adalah penerjemahan besar-besaran buku-buku Romawi dan Yunani pada masa Khalifah al-Makmun di era Abbasiyah.
Kelemahan umat Islam saat ini dalam mengkaji Alquran adalah pembacaan Alquran yang tidak diikuti dengan penelitian. Banyak orang membaca Alquran, tapi hanya berhenti pada pembacaan saja, tidak dilanjutkan dengan penelitian. Berbeda dengan kaum Muslim abad ke-10 yang tidak hanya sibuk dengan pembacaan atas teks Alquran. Mereka juga melakukan pengkajian dan penelitian mendalam. Misalnya dalam bidang ilmu alam, mereka melakukan pengkajian atas ayat-ayat Alquran yang membicarakan alam, langit dan lain sebagainya.
Sementara, saat ini, kita sering banyak membaca ayat, tapi tidak mengkajinya. Seperti, kita tidak berpikir dan mengkaji maksud surat Yasin ayat 80 yang menyatakan bahwa Allah menjadikan api dari kayu yang hijau (yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu."-red). Dalam ilmu pengetahuan modern, hijau dalam ayat di atas disebut cholorophyl. Pohon memuat energi dari matahari dan matahari menumbuhkan pohon. Pohon kalau di bakar bisa untuk memasak dan lain sebagainya. Observasi, merenung, dan pengkajian yang dilakukan oleh kaum Muslim abad ke-10 mampu melahirkan ilmu-ilmu baru seperti aljabar, kedokteran dan lain sebagainya. Jadi gelar ulama selayaknya tidak hanya diberikan kepada orang yang menguasai ilmu-ilmu agama, tapi juga kepada orang yang menguasai ilmu-ilmu alam dan sosial.
Demikian juga, penyebab awal mundurnya umat Islam adalah ketika mereka lebih mementingkan ilmu syariat (fikih) dan memandang sebelah mata terhadap ilmu filsafat dan alam. Umat Islam mulai berhenti bertanya. Kondisi ini diperparah dengan lahirnya dogma yang tidak memperbolehkan bertanya maksud dari ayat-ayat Alquran. Umat Islam hanya menerima saja tanpa melakukan pengkajian atas ayat-ayat Alquran. Selain itu, menurut satu teori, tidak berkembangnya ilmu kedokteran dalam Islam dipengaruhi oleh ilmu fikih, seperti pelarangan memotong-motong mayat. Penekanan berlebihan atas aturan dan larangan (fikih) menjadikan pemikiran Islam menjadi mekanis; mengkuti larangan dan perintah saja. Hal ini yang membawa umat Islam pada garis pemikiran yang mendatar, bukan tumbuh, dan mematikan kreatifitas.
Oleh karena itu, apabila alam berpikir dikendalikan dan ditekan maka akan menyebabkan stagnasi pemikiran dalam masyarakat. Maka biarkanlah akal berkembang dengan cara mempertanyakan, mencari, menafsirkan dan membaca sebebas mungkin. Alquran memerintah untuk selalu memperhatikan alam, langit dan gunung, agar umat Islam berpikir. Tapi sikap ini tidak kita jadikan dasar dalam mempelajari Alquran. Kita tidak meragukan kebenaran Alquran.
Permasalahannya adalah bagaimana mengamalkan dan menghayati Alquran. Bukan hanya memahami kulitnya, tapi memahami makna dan substansinya. Makanya organisasi-organisasi Islam seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus mendorong alam kebebasan berpikir dan tidak terlalu menekankan pada persoalan hukum. Sehingga angin segar bisa berhembus dan mampu melahirkan para pemikir baru di tubuh umat Islam.
Akal sangat vital peranannya dalam mewujudkan kabangkitan Islam. Akal adalah sumber untuk maju. Tanpa penggunaan maksimal potensi akal, mustahil umat Islam bisa maju. Ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa suatu saat umat Islam akan banyak, tapi sayangnya ia seperti buih di lautan. Kemudian ada hadits lain yang menyatakan bahwa umat Islam akan merosot karena dua hal, yaitu: cinta pada dunia dan takut menghadapi maut. Hikmah yang terbesit dari hadits ini adalah hidup itu harus berimbang, akal pikiran kita kembangkan untuk kemajuan duniawi, tapi kita jangan cinta pada dunia. Dan kita mengembangkan kalbu untuk lebih memahami makna hidup setelah mati agar kita tidak takut menghadapi maut.
Jika umat Islam mau bangkit mengejar kemajuan, maka setidaknya harus melakukan: Pertama, kita cari kelemahan diri kita. Jangan mencari kambing hitam dan jangan menimpakan kesalahan pada pihak lain. Jangan mengembangkan teori konspirasi, sebab dengan logika itu, kita akan menghindari introspeksi. Introspeksi itulah yang sangat penting bagi kita. Introspeksi akan menunjukkan kelemahan-kelemahan yang ada pada diri kita. Kedua, belajar dari sejarah. Kemajuan agama Islam pada abad lampau, dipelopori oleh ulama yang banyak membaca, menulis dan berfikir. Jadi, akal dikembangkan serentak dengan pengembangan kalbu. Ada balance (kesimbangan) antara akal dan kalbu. Ketiga, mengembangkan ukhuwah islamiyah dan solidaritas antarumat. Kita tidak mencari musuh tapi kita menggalang ukhuwah islamiyah dan ukhuwah insaniyyah (persaudaraan manusia). Dengan bersatu padu kita bisa membangkitkan ajaran Islam dan hal ini akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di tanah air.
Marilah kita belajar dari Khalifah Makmun yang mempelopori penterjemahan buku-buku Barat. Falsafat Ibnu Rusd itu mengambil falsafat Romawi. Jadi, kita jangan melihat dari mana ilmu berasal. Ilmu itu kita ambil sebanyak mungkin dari mana pun ia berasal. Yang membedakannya ialah sikap kita (umat Islam) ketika menterjemahkan ilmu ke dalam perbuatan. Bagi umat Islam, pengejawantahan harus dibimbing moral yang disinari oleh cahaya iman. Iman Muslim tentu berkiblat pada Alquran dan Hadits, tapi iman non-Muslim itu beda. Meskipun demikian, sumber ilmu pengetahuan bisa di mana saja. Bukankah kita diperintahkan, menurut sebuah hadits untuk menuntut ilmu ke negeri Cina. Jadi tidak perlu ada sikap anti Barat atau anti Timur dalam menuntut ilmu. Insya Allah, dengan mengedepankan kemajuan ilmu dan kekuatan moral, umat Islam akan kembali bangkit dan menjadi khalifah di muka bumi. 
Wallahualambishawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar