Pages

Kamis, 09 Juni 2011

Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara: Pengajaran Filsafat di UIN Cenderung Berkiblat ke Barat

Kamis, 15/03/2007 17:47 WIB | email | print

Pakar filfasat Islam Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara menilai, pengajaran filsafat Islam maupun umum di lingkungan UIN, IAIN/ STAIN cenderung berkiblat ke Barat.
"Saya kritik pembelajaran filsafat di UIN ini. Kita ini lebih membesar-besarkan filsafat Barat dan kurang mengembangkan filsafat Islam menurut para filsuf Muslim, " ujar Mulyadhi dalam diskusi bertajuk "Koreksi Kesalahan Pemahaman Ilmu Kalam dan filsafat Islam" di UIN Jakarta, Rabu (15/3).
Dijelaskannya, bila ada perguruan tinggi yang mengembangkan filsafat Islam, biasanya lebih pada filsafat Ibnu Rusy, di mana filsuf asal Andalusia ini cenderung pada tokoh filfasat Yunani kuno, Aristoteles.
Menurutnya, umat Islam perlu dan harus mempelajari filsafat, terutama filsafat Islam. "Filsafat itu induk ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan teknologi maju itu karena filsafat, " katanya.
Mulyadhi menambahkan, orang Barat, sains dan tekonolginya maju juga karena filsafat, tapi filsafat mereka anti agama dan menolak Tuhan.
Terkait dengan hal itu, uajrnya, kini pihaknya sedang menerjemahkan karya-karya filsuf Islam dari berbagai disiplin ilmu ke dalam Indonesia. "Saya menulis buku tentang psikologi Islam, " terang dia.
Sementara itu Ketua Hizbut Tahrir Abdurrhaman Maghfur Wahid menyatakan, "Akibat kita berkiblat ke Barat, maka metodologi pemikiran keilmuan kita juga mengarah ke sana."
"Semua produk Barat diambil kaum Muslimin, mulai yang bersifat fisik atau non-fisik, " katanya. (dina)

Mulyadhi Kartanegara: Integrasi Ilmu Tak Sekadar Menyatukan Ilmu Sekuler dan Agama PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Abdullah Suntani   
Rabu, 05 Mei 2010 20:53
Reporter: Abdullah Suntani
Auditorium, UIN Online – Guru besar filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, Prof Dr Mulyadhi Kartanegara mengatakan, integrasi keilmuan antara ilmu pengetahuan barat modern dengan ilmu pengetahuan agama tidak bisa dicapai hanya dengan menyatukan dua kelompok ilmu (sekuler dan agama). Sebab, keduanya memiliki perbedaan basis teori.
Pernyataan itu disampaikan Mulyadhi dalam Seminar Nasional bertema Integrasi Keilmuan di Lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang berlangsung di Auditorium Utama, Rabu (5/5). Acara tersebut merupakan  rangkaian  dari  Milad Fakutas Syariah dan Hukum (FSH) ke-43.
Turut hadir dalan acara itu Dekan FSH Prof Dr Amin Suma, Deputi Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) Bidang Akademik dan Kerjasama Dr Fuad Jabali MA, sejumlah dekan di lingkungan UIN Jakarta diantaranya, Prof Dr M K Tajudin dari Fakultas Ilmu Kesehatan dan Ilmu Kedokteran (FKIK), Prof Dr Abdul Wahib Hasim dari Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), dan Dr Arif Subhan dari Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidkom).
Untuk mengintegrasikan ilmu sekuler dan agama, lanjut Mulyadhi, keduanya harus diangkat ke tingkat epistemologis. Untuk mencapai tingkat ini, integrasi harus berurusan dengan beberapa aspek atau tingkatan: ontologis, epistemologis, dan metodologis.
“Sebagaimana diketahui, ilmu pengetahuan modern Barat melemahkan status ilmiah ilmu pengetahuan agama. Ketika berhadapan dengan benda-benda metafisik, ilmuwan modern mengkritik tidak ilmiah terhadap ilmu agama, karena ilmu dapat dianggap sebagai ilmiah hanya jika objeknya dapat diempiriskan,” katanya.
Tidak hanya itu, Mulyadhi menjelaskan, di dunia Muslim, dikotomi pengetahuan, juga menyebabkan beberapa Muslim menganggap ilmu sekuler sebagai bid'ah (sesat) atau bahkan haram, karena orang-orang tak beragama (kafir) yang menciptakannya.
“Permasalahan  dikotomi inilah yang menciptakan disintegrasi pada tingkat klasifikasi pengetahuan, oleh karena itu, kita harus serius membangun dan menciptakan integrasi holistik dan sistematis agar integrasi antara ilmu-ilmu dapat tercipta,” ujarnya.
Pandangan dikotomi itu, lanjutnya, telah menciptakan penyimpangan pandangan tentang sumber pengetahuan. Para pendukung ilmu-ilmu agama hanya mengakui keabsahan sumber ilahi, seperti kitab dan tradisi Nabi (hadits).
Sebaliknya, para ilmuwan sekuler berlaku hanya mempertimbangkan informasi yang diperoleh dari persepsi akal atau dunia empiris.
Menurut Mulyadhi dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan sekuler itulah yang melahirkan permasalahan, yaitu disintegrasi terhadap klasifikasi pengetahuan. “Karena itu kita harus mengetahui pengetahuan secara luas tidak terbatas pada satu bidang, namun mampu mengetahui terhadap pengetahuan kekinian (modern) tanpa meninggalkan konteks lokal dan nilai ketuhanan,” tambahnya. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar