Pages

Kamis, 09 Juni 2011

DINAMIKA PERKEMBANGAN ISLAM: SEBUAH PENGANTAR
Oleh: A Khudori Soleh**
Sejarah perkembangan Islam, termasuk di dalamnya norma, doktrin, dan peradaban masyarakatnya, sesungguhnya tidak berkembang secara “mandiri”, linier dan normative, melainkan berliku dan tidak lepas dari kondisi social politik yang mengintarinya. Karena itu, pembacaan kita terhadap Islam tidak dapat dilepaskan dari konteks ini, meski tampaknya berisi doktrin, ajaran atau lainnya yang bersifat normative. Tulisan singkat ini akan mendiskusikan realitas dinamika perkembangan Islam yang tidak lepas dari konteks tersebut.
Masa Khulafah al-Rasyidin
Masa Khulafah al-Rasyidin mulai oleh Abu Bakar yang berkuasa tahun 632-634 M. Pemerintahan Abu Bakar yang singkat habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri, terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku Arab yang tidak mau tunduk pada Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dilakukan hanya dengan Nabi, sehingga secara otomatis batal dengan meninggalnya Nabi. Abu Bakar menyelesaikan ini dengan apa yang dikenal sebagai perangriddah (perang melawan kemurtadan).
Pemerintahan yang dijalankan Abu Bakar mengikuti apa yang terjadi pada masa Nabi, bersifat sentralistik, dimana kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Abu Bakar sendiri yang diangkat khalifah dengan baiat menyebut dirinya sebagai khalifah al-nabi (pengganti nabi).1
Umar ibn Khathab menggantikan Abu Bakar lewat penunjukan langsung, berkuasa tahun 634-644 M. Masa ini ekspansi Islam pertama terjadi. Syiria, Palestina, sebagian besar Persia dan Mesir jatuh dalam kekuasaan Islam. Luasnya wilayah kekuasaan memaksa Umar untuk membangun system pemerintahan dan administrasi negera. Dalam hal ini, ia mencontoh adiministrasi yang berkembang di Persia. Administrasi pemerintahan dibagi menjadi 8 propinsi: Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir. Departemen-departemen ditingkat pusat juga dibentuk, seperti keuangan, pekerjaan umum dan pengadilan. Umar yang menyebut dirinya sebagai amir al-mukminin (komandan orang beriman) juga membentuk bait al-mal, menempa mata uang dan menciptakan tahun hijrah, menerapkan system gaji dan pajak tanah. Dalam bidang hokum, untuk pertama kalinya systemghanimah (pembagian harta rampasan perang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah) tidak diberlakukan dan diganti dengan system gaji.2
Ustman ibn Affan yang berkuasa setelah Umar dipilih dengan system formatur yang terdiri atas 6 orang; Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqash dan Abd Rahman ibn Auf. Pada paruh
pertama kekuasaannya yang panjang, tahun 644-655 M, Ustman meneruskan politik Umar melakukan ekspansi ke luar. Menaklukkan Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes dan yang tersisa dari wilayah Persia. Dalam keilmuan, Utsman pertama kali yang membukukan al-Qur’an yang dikenal dengan mushaf utsmani sampai sekarang, untuk membakukan system pembacaan al-Qur’an yang mulai berbeda-beda saat itu sesuai dialek wilayah masing-masing.
Akan tetapi, setelah itu, Utsman tampak mulai tidak dapat mengendalikan ambisi politik keluarganya (Bani Umaiyah) dan mengangkat mereka sebagai pejabat-pejabat penting dan “basah”. Parahnya, Utsman juga mengklaim diri sebagai khalifah Allah (pengganti Allah) bukan khalifah al-nabi sebagaimana Abu Bakar, sehingga memberi kesan dictator dan berkuasa penuh. Perubahan politik Ustaman ini kemudian menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan di kalangan shahabat dan kebanyakan masyarakat, sehingga melahirkan pemberontakan dan berpuncak pada terbunuhnya Utsman.3
Ali ibn Abi Thalib yang dibaiat setelah Utsman berkuasa tahun 655-660 M. Masa pemerintahan Ali penuh dengan gejolak sebagai warisan dari system sebelumnya dan dampak kebijakan radikal yang diterapkan Ali. Ali memecat para gubernur yang diangkat Utsman, menarik kembali tanah-tanah yang dihadiahkan Utsman dan mengembalikan kepada negara, menerapkan system pajak tahunan dan menghilangkan tunjangan shahabat. Gejolak pertama adalah pemberontakan yang dilakukan Aisyah, Zubair dan Thalhah, sedang yang kedua pemberontakan yang dilakukan oleh Muawiyah ibn Abi Sofyan, keluarga dan gubernur Syiria yang diangkat Utsman. Dua pemberontakan ini memberikan dampak teologis yang serius. Ketika Aisyah bertempur melawan Ali, sebagian shahabat seperti Abd Allah ibn Umar tidak dapat mengambil sikap dan menyerahkan keputusannya kepada Allah, karena keduanya adalah keluarga Nabi. Aisyah adalah istri Nabi yang berarti ummul al-mukminin (ibunya orang mukmin) sedang Ali adalah menantu dan orang yang sangat dekat dengan Nabi. Sikap abstain sebagian shahabat inilah yang kemudian
berkembang
menjadi
Murjiah.
Sementara
itu, pertempuran Ali melawan Muawiyah melahirkan tiga aliran teologi besar dalam Islam. Mereka yang membela Ali kemudian menjadi
Syiah, yang mendukung Muawiyah menjadi Jama’ah atau Sunni,
sedang yang tidak puas dengan keduanya menjadiKhawari j.4
Masa Pemerintahan Bani Umaiyah
Pemerintahan Bani Umaiyah berlangsung sekitar 90 tahun, tahun 661-750, berpusat di Damaskus, Syiria. Pada masa ini, ekspansi dan penaklukan wilayah dilakukan secara besar-besaran. Muawiyah sebagai khalifah pertama ingin menyaingi Persia dan Romawi, dua negara adidaya saat itu. Ia melakukan penaklukan ke timur sampai Kabul, Afganistan, ke utara sampai Konstantinopel, Bizantium. Abd al- Malik, penggantinya, meneruskan serangan ke timur sampai India dan2
Maltan, ke barat sampai Maroko dan Spanyol. Dengan keberhasilan ini, wilayah kekuasaan Islam menjadi sangat luar biasa luas. Membentang mulai dari Spanyol di Eropa, Afrika utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, Asia Tengah, Asia selatan sampai India.5
Selain ekspansi wilayah, Bani Umayah juga berhasil membangun kebudayaan dan peradaban. Muawiyah mendirikan dinas pos lengkap dengan kuda dan peralatannya, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang dan menjadikan hakim (qadli) sebagai jabatan profesi. Abd al-Malik, khalifah penggantinya, mencetak uang sendiri dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab, menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan, dan mendirikan panti orang cacat. Umar ibn Abd al- Aziz, penggantinya, menetapkanal-Muwatha’ karya Imam Malik sebagai KUHP di wilayah Islam.6
Akan tetapi, pada aspek social dan politik, Bani Umaiyah justru mewariskan masalah. Muawiyah menerapkan system strata social yang berbeda dikalangan masyarakat. Ada 4 strata social yang dikenal saat itu, yaitu muslim arab, muslim non arab (mawalî), non muslim dan budak. Muawiyah dan para penerusnya menghidupkan kembali apa yang berusaha dihilangkan oleh Islam dan Nabi, yaitu system budak sebagai dampak tidak langsung adanya penaklukan- penaklukan. Mereka juga mendahulukan muslim arab untuk jabatan- jabatan di pemerintahan dibanding kalompok lainnya, sehingga muslim non arab merasa di nomorduakan. Diskriminasi social ini kemudian memunculkan ketidakpuasan dan pemberontakan yang berpuncak pada tergulingkannya dinasti Muawiyah.7 Khalifah al-Walid II (743-744 M) juga memisahkan tempat pertemuan antara laki-laki dan perempuan. Meski awalnya hanya pemisahan tempat pertemuan, tetapi kemudian berkembang menjadi pemisahan peran-peran public dan lainnya yang pada akhirnya melahirkan adanya diskriminasi dan bias gender di kalangan masyarakat muslim seperti yang kita lihat sekarang.
Dari aspek politik, Muawiyah merubah tradisi pemerintahan sebelumnya yang bersifat “musyawarah-domokratis” menjadi monarkhi dengan meniru system suksesi di Romawi dan Persia. Karena itu, meski tetap memakai gelar khalifah, mengikuti Utsman, Muawiyah mengklaim dirinya sebagai khalifah Allah (pengganti Allah di bumi atau penguasa yang diangkat Allah), bukan khalifah al-Nabi atau yang lain. Perubahan system politik ini dimulai ketika mengangkat anaknya, Yazid, sebagai penggantinya. Untuk melaksanakan ini, Muawiyah menggunakan segala cara.Pertama, kekerasan politik dan fisik. Ia memaksa seluruh rakyatnya bersumpah setia kepada Yazid. Yazid sendiri juga memaksa para shahabat di Madinah untuk berbaiat kepadanya. Husein ibn Ali, cucu Nabi, yang menolak berbaiat di perangi di Karbala, Iraq. Tragedi terbunuhnya Husein di Karbala inilah yang kemudian melahirkan tradisiassyura di kalangan Syiah sampai sekarang.8Kedua, menggunakan bahasa agama. Antara lain, membuat doktrin teologiJabariya h. Teologi ini
3
Gagasan metafisikanya yang kemudian dianggap menyimpang dari ajaran Islam dikembangkan dari ajaran neo-platonisme, bukan dari Aristoteles. Itulah sebabnya kenapa Ibn Rusyd (1126-1198 M) juga mengkritik al-Farabi telah menyimpang dari ajaran Aristoteles.38 Dengan demikian, serangan al-Ghazali terhadap metafisika filsafat Islam lebih karena adanya perbedaan paham, dan al-Ghazali sendiri tidak bermaksud menolak filsafat sama sekali. Sayangnya, kebanyakan kita telah bersikap apriori dan ikut-ikutan menolak filsafat secara keseluruhan, sehingga tidak mampu berkembang. Berkaitan dengan hal ini ada statemen Fazlur Rahman yang menarik untuk direnungkan,
“Filsafat adalah alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Untuk itu, ia harus diperbolehkan untuk bekembang secara alamiah, baik untuk pengembangan filsafat itu sendiri maupun untuk pengembangan disiplin- disiplin keilmuan yang lain. Hal ini dapat dipahami, karena filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih akal pikiran untuk bersikap kritis-analitis dan mampu melahirkan ide- ide segar yang sangat dibutuhkan. Ia, dengan demikian, menjadi alat intelektual yang sangat penting untuk ilmu- ilmu yang lain, tidak terkecuali agama dan teologi. Karena itu, orang yang menjauhi dan menolak filsafat dapat dipastikan akan mengalami kekurangan energi dan ide-ide segar. Lebih dari itu, ia berarti telah melakukan bunuh diri intelektual”.39
Penutup
Pasca jatuhnya dinasti Bani Abbas di Baghdad oleh tentara Mongol tahun 1258 M, pemikiran dan peradaban Islam sesungguhnya masih bertahan beberapa lama. Antara lain, di Spanyol, Mesir dan Syafawi di Asia Tengah. Akan tetapi, memasuki abad ke 15 M, keilmuan dan dinasti besar Islam benar-benar habis, kecuali dinasti Utsmaniyah di Turki. Masyarakat Islam menjadi sangat merosot dan sebagian besar jatuh dalam penjajahan Eropa. Karena itu, tulisan ini tidak akan memperjang uraian tersebut.
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa perjalanan panjang sejarah Islam tidak lepas dari pengaruh kepentingan politik, perbedaan-perbedaan paham dan ideologi, konteks kebudayaan sekitar dan seterusnya. Tidak terkecuali dalam hal ini sejarah perkembangan teologi, pemikiran, doktrin-doktrin keagamaan dan lainnya yang sekilas bersifat ideal dan normative. Karena itu, kita tidak bisa secara langsung mengambil doktrin-doktrin ajaran lepas dari koteksnya. Begitu pula, kita tidak bisa membaca teks-teks keagamaan tanpa memperhatikan situasi politik dan social yang mengintarinya. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar